Menyusuri Pesona Biru Laut Aceh
Pantai Ujong Batee, Ulee Lheue, dan Lhok Nga menyuguhkan keunikannya masing-masing.
Waktu di telepon seluler saya menunjukkan pukul empat sore kala saya sampai di Pantai Ulee Lheue, Aceh Besar, pertengahan Februari lalu. Saya bersama rekan saya, fotografer Zulkarnain, diantar dua orang teman dengan sepeda motor.
Sepanjang perjalanan, labi-labi, angkot khas Aceh, lalu-lalang, mengingatkan saya pada suasana saat pertama kali menginjakkan kaki di Aceh, dua bulan setelah tsunami menerjang Tanah Rencong. Tak ada labi-labi sebanyak itu kala bencana menimpa.
Menyusuri pantai ini bagi saya seperti napak tilas. Dulu perjalanan saya terhadang jembatan putus di gerbang pantai ini. Sekarang saya bisa sampai di ujung pelabuhan pantai yang difungsikan sebagai penyeberangan menuju Sabang, Pantai We, ujung barat Indonesia.
Setelah menemui banyak orang yang tengah membangun pelabuhan dengan arsitektur antigempa dan tsunami, saya mengaso di tepian pantai, dekat pelabuhan, menikmati matahari terbenam.
Tak sadar sudah pukul setengah enam sore, saya memutuskan melihat keramaian di ujung pantai dekat gerbang masuk pantai. Orang-orang memancing ikan, atau sekadar menikmati sisa matahari yang terbenam.
Banyak muda-mudi menghabiskan sore sambil duduk menonton orang memancing. Atau keluarga yang menghabiskan waktu berlarian di pinggir pantai. Saya melihat Zacky, yang penampilannya nyentrik dengan topi mirip koboi, kaus berkerah, serta peralatan pancing yang lebih serius--ember khusus berisi udang sebagai umpan, dan tiga buah pancing sekaligus.
Tak terasa, jam di telepon genggam saya sudah menunjuk angka tujuh kurang 10 menit. Langit baru terlihat muram, seperti batas antara siang dan malam.
Suara mengajak salat magrib terdengar berulang-ulang diteriakkan melalui pengeras suara. Itulah suara para polisi syariah dengan mobilnya berjalan pelan menyusuri pinggir Pantai Ulee Lheue.
Saya lihat Zacky bergeming, melemparkan tali pancingnya jauh dari bebatuan besar yang disusun sebagai pemecah ombak sepanjang 10 kilometer pantai. Walau sudah mendapat tiga ekor ikan seukuran genggaman tangan orang dewasa, dia enggan beranjak. "Sebentar lagi, belum azan," ujarnya enteng.
Sepuluh menit kemudian, setelah azan terdengar, kepala legal sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing itu segera menarik tali pancingnya. Bergegas, pria 35 tahun itu membereskan peralatan pancingnya. Tindakan yang sama dilakukan para pemancing lain.
Dibanding di Jakarta, waktu magrib di Nanggroe Aceh Darussalam memang satu jam lebih lambat. Suara azan terdengar sepuluh menit kemudian, dari masjid Ulee Lheue yang menjadi tempat mengenang satu tahun tsunami, Desember 2004.
Tak jauh dari Zacky, ada Bastiar, prajurit TNI, bersama putra tunggalnya sedang bertamasya, memancing dengan peralatan ala kadarnya.
Sambil bermain dengan putranya, Bastiar bercerita tentang dirinya yang beruntung, selamat dari bencana 26 Desember 2004. "Rekan-rekan saya hanyut tersapu air," ujarnya. Dia berkisah tentang perahu-perahu di pinggir pantai yang sudah menjadi rongsokan, di antaranya beberapa kapal TNI Angkatan Darat.
Di tempat ini memang ada markas tentara dan polisi di pinggir jalan menuju pantai. Malah, sebelumnya, di pantai yang jaraknya sekitar delapan kilometer dari Banda Aceh itu berjejer kafe, tempat remaja menghabiskan malam.
Waktu itu dia sedang akan lepas dinas dan pulang ke rumahnya di kawasan pantai tersebut. Namun, firasatnya membuatnya malah mengajak anak dan istrinya ke rumah saudaranya di kaki bukit. Tempat itu memang menjadi salah satu wilayah pengungsian. "Kok gempanya aneh, ya," kata dia tentang firasatnya. Sebelum bah, memang terjadi dua kali gempa besar dalam kurun waktu 15 menit.
Tsunami juga meninggalkan bekas di pantai itu. Sebelum tsunami, garis pantai dari jalan menuju laut mencapai lebih dari 500 meter. Saat ini batasnya hanya sekitar 200 meter.
Lima puluh meter dari batas bendungan batu itu ada tempat di tengah pasir yang selalu terisi air dengan kedalaman setengah meter. Tempat itu menjadi arena bermain air buat keluarga yang membawa serta anak-anaknya.
Banyak keluarga yang datang, plus pasangan muda-mudi yang asyik berduaan, berangkulan sambil menonton orang memancing. Mereka duduk-duduk di bebatuan atau di kios-kios makan di sekitar pantai.
"Tak ada yang berani mandi-mandi lagi di sini," kata Zacky menunjuk ombak bergulung-gulung menghantam batu-batu kali yang disusun setinggi dua meter. Walau demikian, pernah ada orang asing, pekerja LSM, coba-coba berenang, dan selamat.
Kembali kepada Bastiar, yang mengenang: beberapa kapal tentara ikut hanyut dan hanya menyisakan serpihan, atau kapal yang rusak kerangkanya. Terdampar, di sisi seberang pantai, memang ada dua kapal hijau bertuliskan TNI AD, bersama sebuah kapal yang rusak berat menjorok ke bagian aspal yang hancur diempas gelombang tsunami.
Dari pintu masuk bertuliskan Wisata Pantai Ulee Lheue, masih tersisa jalan beraspal yang longsor terkena tsunami. Namun, di ujung pantai sudah berdiri pelabuhan intra Aceh, menuju Sabang, yang berada di Pulau We. Dibangun dengan konstruksi tahan gempa dan tsunami, dengan konstruksi tiang penyangga yang jaraknya dibuat lebar satu sama lain, agar air bisa lewat lebih leluasa.
Perjalanan menuju Sabang, kata Zacky, memang lebih dekat lewat pelabuhan ini. Di kejauhan, dari bebatuan pemecah gelombang, memang tampak sebuah pulau yang ditunjuk Zacky sebagai Sabang. Sebelumnya, perjalanan ke Sabang selalu melalui Pantai Kreung Raya.
Pemandangan yang kontras, kala pelabuhan di ujung pantai itu sudah kelar dibangun investor Jepang, sementara pangkal pantai itu, tempat para pemancing, terkesan masih terbengkalai.
Di kompleks pelabuhan itu ada pintu masuk dengan air mancur yang berada di tengah bundaran kompleks, menyambut penyeberang barang dan orang, di gerbang pelabuhan. Satu kilometer dari gerbang masih dirasakan kurang oleh Asian Development Bank sebagai laut yang diuruk. Rencananya, tiga kilometer lagi dari gerbang, laut akan diuruk. Mengantisipasi padatnya kendaraan yang masuk. Inilah denyut Ulee Lheue.
Sementara itu, Zainuddin, 31 tahun, penjual mi instan dan minuman ringan di pangkal pantai, masih berpikir membuat dagangannya laku seperti sebelum tsunami. "Sekarang batasnya cuma sampai magrib ramainya," ujar Zainuddin. Artinya, cuma tiga jam lima hari seminggu, pengunjung pantai cukup ramai. "Kalau akhir pekan, lebih banyak." Makanya, saat akhir pekan, rezekinya berlipat ganda walau belum seramai sebelum tsunami.
Bapak dua anak itu pun baru sembuh dari trauma dan kembali berdagang bersama istrinya delapan bulan setelah tsunami. Anak sulungnya terbawa arus kala mereka dihanyutkan air. Dia pun terdampar, di Lamprit, terpisah dari istri dan satu anaknya. Tapi, katanya, "Kami harus tetap hidup kan, ya." Dengan kerangka baja tipis yang biasa dipakai Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi membangun rumah, warungnya dibangun.
Berbeda dengan Ulee Lheue, ketika saya mengunjungi Lhok Nga, di Aceh Besar, esok harinya, masih banyak orang berenang, beberapa pekerja LSM asing berselancar. Gelombang di pantai ini bisa mencapai dua meter tingginya kala pasang siang hari. Ketika tenang, sekitar setengah sampai satu meter.
Insiden orang tenggelam beberapa kali terjadi--karena itu, seorang petugas Search and Rescue selalu siap di sekitar pantai. "Ada pusaran di sana," kata Nurleli, 29 tahun, penjual kelapa muda, menunjuk titik dua kilometer dari pipa PT Semen Andalas Indonesia.
Saya lihat malah ada rumah panggung setinggi tiga meter. Dua meter dari rumah panggung itulah kios Nurleli, cuma 50 meter dari bibir laut. Lebar pantai itu sendiri dari jalan raya ke bibir laut memang cuma sekitar 100 meter--sebelum tsunami, lebih dari 500 meter. Akibatnya, kala pasang, air laut dari gelombang yang tinggi itu menyentuh kiosnya. "Makanya mau dimundurin lagi," kata perempuan asal Aceh Tamiang itu.
Sementara di Ulee Lheue air laut lebih gelap, di Lhok Nga air laut membiru cerah. Tampak gradasi warna air yang diteruskan ke Samudra Indonesia itu. Di sana lautnya memang terkesan masih liar.
Pemecah gelombang cuma ada di sisi pantai yang memiliki pelabuhan buat pabrik semen mengangkut barang jadinya ke seluruh Indonesia. Jaraknya sekitar lima kilometer dari tempat pertama kali pengunjung melihat laut. Dari jarak itu, terlihat ada pohon-pohon cemara kecil tumbuh, plus rumput ilalang dan pohon kelapa.
Kalau mau melihat pemandangan laut sambil menikmati ikan bakar dan kelapa muda asli, di sinilah tempatnya. Hanya 17 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh, dan cuma perlu waktu tempuh 30 menit dengan sepeda motor.
Asalkan sudah pukul empat sore, tempat ini sudah penuh pasangan muda-mudi dan orang asing yang memesan ikan untuk disantap bersama. Harganya cukup murah, cuma Rp 120 ribu buat ikan baronang, yang biasanya disantap bersama tiga-empat orang, sudah plus nasi putih. Kelapa mudanya Rp 5.000 per buah. Sayangnya, di tempat ini cuma ada lima kios, termasuk milik Nurleli.
Berbeda dengan di Ujong Batee--pantai yang lebih dulu kami kunjungi sebelum Ulee Lheue dan Lhok Nga ini--di mana kios ikan dan kelapa mudanya lebih banyak. Malah, di Ujong Batee, yang berjarak 25 kilometer dari pusat kota, ada tempat berteduh masing-masing buat lima sampai enam orang. Saya dan teman saya waktu itu sempat mencicipi ikan bumbu kecap dan kelapa mudanya, bersama Gubernur Aceh Irwandi Yusuf.
Selain itu, ombak di Ujong Batee lebih bersahabat, tak sampai satu meter kalau pasang. Tak mengherankan, banyak keluarga membawa anak kecil bermain di sana, berkejaran di pinggir laut tanpa perlu waswas, seperti di Ancol, Jakarta. Cuma, bedanya, kalau menikmati Pantai Ancol pengunjung mesti bayar berkali lipat, ya kendaraan, ya orangnya. Di Ujong Batee, tinggal datang saja, alias cuma-cuma.
Hari berikutnya, kami akan kembali ke Jakarta. Kesempatan "menjenguk" lagi tempat-tempat yang pernah lumpuh, namun masih disyukuri keindahannya oleh warganya, adalah suatu kegembiraan bagi saya. Apalagi menikmati pantai-pantai yang masih natural, dengan gratis.
Sumber : www.korantempo.com/
Foto : http://i34.tinypic.com